Inovasi Pendidikan Nonformal
BERBASIS KEWIRAUSAHAAN DAN PENGUATAN
TAMAN BACAAN KELUARGA (TBK)
A. Latar Belakang
Menyadari arti penting pemberantasan buta aksara di Indonesia, semenjak awal kemerdekaan telah berbagai upaya dilakukan membuat masyarakat melek huruf. Upaya tersebut sekarang ini, terus berlanjut dan ditingkatkan dengan dasar Instruksi Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA). Gerakan nasional pemberantasan buta aksara menginstruksikan untuk menurunkan persentase penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas, sekurang-kurangnya menjadi 5% pada akhir tahun 2009. Untuk mendukung instruksi tersebut, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Dengan landasan hukum ini, pemerintah telah menetapkan kebijakan penuntasan buta aksara sebagai salah satu prioritas pembangunan pendidikan, yaitu mempercepat peningkatan angka melek aksara penduduk 15 tahun ke atas. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan pembangunan nasional diarahkan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Salah satu indikator yang menentukan tinggi rendahnya kualitas SDM adalah Human Development Indek (HDI). Kwalitas sumber daya manusia Indonesia masih tergolong rendah, yang terbukti pada tahun 2009 masih berada pada urutan ke 111 dari 182 negara.
Berpijak dari pencapaian target dan kenyataan tersebut di atas, perlu adanya upaya-upaya peningkatan kwalitas sumber daya manusia yang harus menerapkan prinsip pendidikan sepanjang hayat (life long education) terutama dalam penuntasan penduduk buta aksara melalui pendidikan keaksaraan (Depdiknas, 2003:18). Hal ini didukung dengan misi pendidikan keaksaraan, yaitu ”membelajarkan warga masyarakat buta aksara supaya mampu membaca, menulis dan berhitung serta mampu berbahasa indonesia, memiliki kemampuan dasar yang dapat meningkatkan mutu dan taraf hidupnya” (BP-PLSP, 2006: 5). Lebih dari yang diungkapkan diatas, pendidikan keaksaraan bertujuan meningkatkan kualitas mereka yang sudah melek aksara untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya.
Sedangkan kejadian di lapangan sering ditemui, hasil belajar yang diperoleh oleh warga belajar pendidikan keaksaraan baru sebatas pada kemampuan membaca, tulis, dan hitung semata, belum sepenuhnya memberikan makna terhadap kehidupannya atau kurang fungsional (Sihombing, 2001: 79). Hal ini sejalan dengan Merfield (Wahid, 2006:2) berpendapat, melalui berbagai upaya dilakukan untuk memelekhurufkan warga masyarakat, ternyata melek huruf saja tidak berarti banyak bagi warga masyarakat, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang kembali buta huruf karena tidak ada kepastian kesinambungan program yang dapat melanggengkan dan pemeliharaan tingkat keaksaraan warga belajar yang memiliki kebermaknaan pada dampak dari pengunaan aksara yang mengarah kepada perbaikan taraf hidup masyarakat
Selanjutnya, Sihombing (2001:79) menjelaskan; banyak kejadian yang menghambat kinerja program, antara lain adalah: 1. Kesalahan regruimen warga belajar, sebagian warga belajar program keaksaraan bukan berasal dari buta huruf murni. Pengelola di lapangan sering melakukan kesalahan, yakni meregrut siapa yang mau menjadi warga belajar, bukan meregrur siapa yang harus menjadi warga belajar. 2. Proses/program pembelajaran belum menggunakan pola interaktif, kenyataan dilapangan tidak jarang terjadi tutor, nara sumber teknis atau sumber belajar ”mengajar” dalam arti mengurui warga belajar tanpa mempertimbangkan bahwa warga belajar dewasa sarat dengan pengalaman dan ilmu kehidupan yang tentu tidak dimiliki oleh tutor yang lebih muda. 3. Hasil belajar yang diperoleh warga belajar baru terbatas pada kemampuan baca, tulis, hitung semata (itupun sangat terbatas), tetapi belum sepenuhnya dapat memberikan makna terhadap kehidupannya.
Seiring dengan itu, BP-PLSP (2006:6) menjelaskan permasalahan pendidikan keaksaraan, ialah: 1. Warga belajar yang dinyatakan bebas buta aksara sebenarnya belum mencapai standar kompetensi keaksaraan yang diharapkan. 2. Warga belajar belum mampu memanfaatkan keaksaraannya setelah program pembelajaran selesai, sehingga ada kecendrungan mereka menjadi buta aksara kembali. 3. Pemeliharaan tingkat keaksaraan warga belajar belum optimal dilaksanakan karena keterbatasan dana, sarana, dan prasarana.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap program keaksaraan, permasalahan yang telah dikemukakan pada uraian tersebut di atas memang terbukti, dimana penyelenggaran pendidikan keaksaraan dilaksanakan secara konvensional, belum memberikan hasil maksimal dan belum dapat mencapai visi dan misi pendidikan keaksaraan. Kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan program pemberantasan buta aksara tersebut perlu segera diatasi. Jika tidak, dikhawatirkan program keaksaraan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dan pada akhirnya target penduduk indonesia bebas buta aksara tidak dapat dicapai.
Fenomena di atas, menantang untuk menyelenggarakan pendidikan keaksaraan yang dapat mengakomodasi serta melayani seluruh masyarakat, yang masih buta aksara dengan segala keterbatasan. Sehingga memberi dampak kebermaknaan terhadap kehidupan dengan peningkatan mutu dan taraf hidupnya. Untuk itu, penjaminan mutu pendidikan keaksaraan sangat penting untuk ditangani dengan segera, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 91 ayat (1) menyatakan, ”Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan”. Selanjutnya, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan pada pasal 13 ayat (1) menjelaskan, ”Standar Nasional Pendidikan bagi satuan atau program pendidikan nonformal dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan atau mengurangi keluwesan dan kelenturan pendidikan nonformal dalam melayani pembelajaran peserta didik sesuai dengan kebutuhan, kondisi, problematika yang dihadapi masing-masing peserta didik”.
Untuk memenuhi tantangan tersebut di atas, pendidikan keaksaraan fungsional (KF) yang berbasis kewirausahaan dan penguatan taman bacaan keluarga (TBK) merupakan salah satu jawaban yang dirasakan tepat sebagai jawaban dari tantangan tersebut. Untuk mewujudkan usaha tersebut, dibutuhkan suatu rancangan inovasi yang efektif dan efisien sehingga tuntas buta aksara dapat diwujudkan.
B. Rasional Inovasi yang diusulkan
Berdasarkan fenomena pelaksanaan program yang tergambar secara umum di latar belakang, untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan pemahaman tentang konsep dasar penyelenggaraan program, yang meliputi:
1. Pengertian
Untuk memahami program keaksaraan fungsional secara utuh. Depdiknas (2005) menjelaskan pengertian yang sangat terkait dengan program keaksaraan fungsional, yaitu : 1. Buta aksara murni adalah penduduk yang sama sekali tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan sistem aksara apapun juga. 2. Buta aksara untuk konteks Indonesia didefinisikan sebagai buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar. Atau dengan kata lain, buta aksara adalah penduduk yang belum memiliki kemampuan-kemampuan tersebut dan belum memfungsikannya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Melek aksara ditafsirkan sebagai melek aksara latin dan angka arab, melek bahasa Indonesia dan pengetahuan dasar. Dengan demikian melek aksara adalah penduduk yang memiliki kemampuan-kemampuan tersebut sehingga dapat meningkatkan mutu dan taraf hidupnya.
Kusnadi(2005) menjelaskan keaksaraan fungsional yang terdiri dari dua konsep yaitu ”keaksaraan” dan ”fungsional”. Keaksaraan (literacy) secara sederhana diartikan sebagai ”kemampuan untuk membaca dan menulis”. Keaksaraan didefinisikan secara luas sebagai pengetahuan dasar dan keterampilan yang diperlukan bagi semua warga negara dan salah satu fondasi bagi penguasaan kecakapan-kecakapan hidup yang lain. Sedangkan terminologi (istilah) fungsional dalam keaksaraan, berkaitan erat dengan fungsi dan/atau tujuan dilakukannya pembelajaran di dalam program pendidikan keaksaraan, serta adanya jaminan bahwa hasil belajarnya benar-benar ”bermakna/bermanfaat/berfungsi” atau fungsional bagi ”peningkatan mutu dan taraf hidup” warga belajar dan masyarakatnya. Umberto Sihombing (1999) menyatakan, keaksaraan fungsional adalah pengembangan dari program pemberantasan buta huruf yang bertujuan meningkatkan keaksaraan dasar warga masyarakat buta aksara (warga belajar) sesuai dengan minat dan kebutuhan hidupnya.
Depdiknas (2005) menjelaskan tujuan program keaksaraan fungsional adalah dalam rangka memenuhi amanat konstitusi agar semua warga negara buta aksara memiliki kemampuan dasar baca-tulis-hitung, sehingga mampu: a. Membuka wawasan untuk mencari sumber-sumber kehidupannya, b. Melaksanakan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien. c. mengunjungi dan belajar pada lembaga yang diperlukan. d. memecahkan masalah keaksaraan dalam kehidupannya sehari-hari. e. Menggali, mempelajari pengetahuan, keterampilan dan sikap pembaharuan untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
Jadi dari pengertian dan tujuan program keaksaraan fungsional dapat disimpulkan bahwa program keaksaraan fungsional adalah salah satu bentuk layanan Pendidikan Luar Sekolah yang ditujukan kepada seluruh warga masyarakat/negara penyandang buta aksara agar memiliki kemampuan dasar diantaranya membaca, menulis, berhitung, kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan potensi yang ada dilingkungan sekitarnya untuk peningkatan mutu dan taraf hidupnya yang pada akhirnya memiliki beberapa kemampuan yang mengarah kepada kemandirian dan penerapan pendidikan sepanjang hayat.
2. Konsep Baru Keaksaraan
Kusnadi dkk. (2005) mengemukakan bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menerapkan berbagai inisiatif, proses-proses, dan hasil-hasil kajian tentang program pemberantasan buta aksara secara lebih proporsional dengan memperhatikan kelemahan dan keberhasilannya, namun angka buta aksara tidak kunjung tuntas sampai milenium ketiga ini. Ada beberapa hal penyebab masalah tersebut. Pertama, adanya perbedaan ukuran tentang kebutaaksaraan. Dulu, seseorang dapat dikatakan bebas dari buta aksara apabila yang bersangkutan telah dapat membaca dan menulis nama dan alamatnya sendiri. Sekarang orientasi tersebut bergeser ke arah yang lebih luas, yakni tidak hanya sekitar mampu membaca dan menulis dan alamat sendiri, tapi lebih luas dari kedua kemampuan tersebut, yakni bebas buta aksara dan angka, bebas buta bahasa Indonesia, bebas buta pengetahuan dan pendidikan dasar. Dalam perkembangan selanjutnya, definisi dan tujuan keaksaraan adalah dalam rangka mengembangkan kemampuan seseorang untuk menguasai dan menggunakan keterampilan baca-tulis-hitung, kemampuan berfikir, kemampuan mengamati dan menganalisis untuk mecahkan berbagai permasalahan kehidupan dengan mendayagunakan potensi yang ada disekitarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan bebas buta aksara bila yang bersangkutan sudah dapat memfungsikan keaksaraan yang dikuasainya untuk kemaslahatan hidup sehari-hari bukan hanya sekedar pandai membaca dan menulis.
Kedua, adanya perbedaan paradigma tentang istilah keaksaraan dengan program pemberantasan buta aksara. Dewasa ini, keaksaraan diartikan secara luas sebagai pengetahuan dasar dan keterampilan dasar dan keterampilan yang diperlukan oleh semua orang, yakni merupakan sesuatu yang pondasional bagi keterampilan hidup lainnya. Sementara pengertian pemberantasan buta aksara menurut Depdiknas (2005) adalah program layanan PLS untuk mendidik penduduk buta aksara dengan prioritas usia 10-44 tahun, agar dapat membaca aksara dan angka latin serta bahasa Indonesia sederhana yang dapat dijadikan bekal dalam pergaulan sehari-hari, dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi yang memenuhi syarat.
Ketiga, adanya perbedaan antara tataran konsep dengan tataran operasional. Konsep pemberantasan buta huruf fungsional pada tahun 1972 sebenarnya cukup bagus, tapi jika dilihat dari tujuannya belajar, selain hanya bisa baca tulis hitung ditambah dengan salah satu keterampilan kejuruan yang cenderung diintegrasikan dengan pendidikan dasar mata pencaharian. Begitu pula dengan Program Paket A, program ini konsepnya sangat bagus dan fungsional yakni belajar dari yang terdekat/nyata menuju yang jauh/abstrak. Hanya saja dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, warga belajar dianggap homogen, sama dengan siswa di sekolah formal. Sedangkan dalam program keaksaraan fungsional seyogyanya kemampuan, potensi, ide, pengalaman, keterampilan, dan informasi yang dimiliki warga belajar sangat dihargai.
Untuk menghindari permasalahan tersebut diatas, pendekatan keaksaraan fungsional diatas haruslah a) Menekankan pada menulis dari pada membaca pasif dari teks yang sudah ada, b) Menekankan pada keterlibatan warga belajar secara aktif dan kreatif, c) Membangun pengetahuan, pengalaman dan memperhatikan tradisi lisan warga belajar dan keaksaraan lainnya, d) Memusatkan pada bahan belajar yang dihasilkan warga belajar sendiri, bukan hanya sekedar buku paket, e) Menjamin bahwa proses belajar responsive dan relevan dengan konteks sosial, dan f) tempat belajar akan lebih baik jika dilingkungan warga belajar dari pada di dalam kelas.
Oleh karena istilah fungsional dalam keaksaraan berkaitan dengan minat dan kebutuhan belajar warga belajar, fungsi dan tujuan dilakukannya pembelajaran keaksaraan fungsional, serta adanya jaminan bahwa hasil belajar benar-benar bermakna/bermanfaat (fungsional) bagi peningkatan mutu dan taraf hidup warga belajar dan masyarakatnya, maka warga belajar sebagai sasaran didik perlu memiliki kesempatan dalam kelompok untuk menganalsis dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Untuk itu, sumber belajar perlu membantu warga belajar dalam mengembangkan kemampuannya guna dapat memanfaat keaksaraan (hasil belajarnya) dalam kehidupanya sehari-hari.
Untuk menjamin agar pengetahuan yang diajarkan dalam kegiatan pembelajaran benar-benar fungsional sesuai dengan kebutuhan warga belajar, perlu diperhatikan kriteria berikut: a) kesadaran warga belajar, baik perorangan maupun kelompok akan keadaan tempat mereka hidup dan bekerja. Mereka perlu dimotivasi untuk membuat suatu analisis tentang faktor-faktor yang berperan pada masalah yang mereka hadapi, didorong untuk memikirkan cara-cara yang mungkin digunakan untuk mengubah hidup mereka kearah yang lebih baik. 2. Fungsionalitas program hendaklah berkaitan secara praktis dengan lingkungan hidup, pekerjaan dan situasi warga belajar. b) fleksibelitas program keaksaraan hendaklah memungkinkan untuk dimodifikasi, ditambah dan dikurangi sehingga menjadi responsif terhadap kebutuhan warga belajar dan persyaratan lingkungan hidup. c) keanekaragaman, hendaknya program keaksaraan cukup beragam untuk dapat menampung minat dan kebutuhan kelompok tertentu, seperti: petani, buruh, pedagang dan lain-lain. d) ketetapan hubungan belajar, pengalaman, kemampuan, potensi, minat, dan kebutuhan warga belajar hendaklah mempengaruhi hubungan tutor dan warga belajar yang dibangun pada hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan oleh warga belajar. e) berorientasi pada tindakan, program keaksaraan hendaklah bertujuan untuk memobilitas warga belajar melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka.
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa konsep baru keaksaraan bukan sekedar membebaskan masyarakat dari buta baca, tulis, hitung belaka. Bukan sekedar mengintegrasikannya dengan salah satu mata pencaharian. Lebih dari itu, warga masyarakat dengan kemampuan baca, tulis, hitung dapat memanfaatkannya dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup. Intinya, bagaimana kemampuan baca, tulis, hitung berfungsi bagi peningkatan kualitas hidup yang bersangkutan.
3. Prinsip Penyelenggaraan Program Keaksaraan Fungsional
Depdiknas (2005) mengemukakan beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan program keaksaraan fungsional, agar kegiatan pembelajaran keaksaraan fungsional benar-benar fungsional, dalam arti bermanfaat langsung bagi peningkatan kualitas kehidupan warga belajarnya. Pertama, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal, yang mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus dari setiap warga belajar dan masyarakat sekitarnya. Artinya, pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan khusus warga belajar setempat. Oleh karena itu, tutor bersama warga belajar perlu mengobservasi lingkungan sekitarnya, guna mencari dan mengumpulkan informasi untuk kegiatan belajarnya. Observasi lingkungan keaksaraan bertujuan untuk mengidentifikasi minat dan kebutuhan belajar warga belajar dan masyarakatnya, serta menemukan masalah yang dihadapi oleh mereka. Selain itu, observasi lingkungan keaksaraan bertujuan untuk mengenali dan mencari potensi/sumber-sumber pemecahan yang dihadapi warga belajar berkaitan dengan situasi, kondisi, dan pekerjaan mereka, guna meningkatkan mutu dan taraf hidup. Misalnya, warga belajar yang hidup di perkotaan dengan fasilitas yang lebih lengkap serta ketersediaan media informasi yang lebih banyak diperlukan program keaksaraan dengan penekanan pada kemampuan fungsional yang lebih tinggi seperti mengenal Bank, aturan berlalu lintas, dan sebagainya. Meskipun demikian, perlu diperhatikan indikator kemiskinan perkotaan, seperti pengangguran, rendahnya pendapatan, kondisi pemukiman yang tidak sehat dan kumuh, serta pemamfaatan dan pemeliharaan fasilitas umum. dan warga belajar yang ada dipedesaan, daerah terpencil atau daerah pedalaman maka program keaksaraan fungsional harus diawali dengan upaya membelajarkan masyarakat dalam aspek ekonomi/mata pencaharian seperti bagaimana cara belajar tentang menanam padi yang baik, pemupukan, pemberantasan hama, memelihara ternak dan pengetahuan dasar lainnya sehingga mereka mampu melakukan funsi penyediaan sarana produksi dan pemasarannya.
Kedua, disain lokal, yakni program harus dirancang berdasarkan kebutuhan, minat,masalah, kenyataan dan potensi/sumber-sumber setempat. Rancangan kegiatan belajarnya atau kurikulumnya harus fleksibel, mudah dimodifikasi, diganti dan ditambah sehingga sesuai minat, kebutuhan, kesepakatan, situasi dan kondisi warga belajar serta potensi yang tersedia. Sedangkan bahan belajar harus relevan dengan kebutuhan dan minat warga belajar yang dipengaruhi oleh kondisi geografis, kondisi sosial budaya, agama serta bahasa masyarakat setempat. Waktu dan Jadual belajar sebaiknya tidak hanya ditentukan oleh penentu kebijakan atau pemberi dana saja, namun sedapat mungkin disesuaikan dengan cara kerja dan waktu luang warga belajar setempat. Begitu juga dengan tempat belajar, sebaiknya merupakan tempat yang menyenangkan menurut warga belajar.
Ketiga, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan program keaksaraan fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif. Ini berarti bahwa siapa saja yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran harus diikutsertakan sejak awal pendesainan program sampai evaluasi. Dalam hal ini, yang lebih penting lagi adalah pelibatan warga belajar dengan segala potensi yang dimilikinya. Begitu juga dengan tutor, penyelenggara, organisasi kemasyarakatan setempat serta dinas instansi terkait perlu dipelihara interaksi aktif.
Keempat, fungsionalisasi hasil belajar, sesuai dengan namanya, penyelenggaraan program keaksaraan fungsional, hasil belajarnya haruslah fungsional bagi kehidupan warga belajar. Artinya, hasil belajar berupa kemampuan membaca, menulis dan berhitung benar-benar harus bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup warga belajar. Menurut save the children seperti dikutip oleh Kusnadi (2005) menyatakan bahwa hasil belajar menulis, membaca, dan berhitung haruslah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan individu, mendidik anak-anak, aktualisasi diri, peningkatan kualitas kerja dan sosial kemasyarakatan.
4. Tolok Ukur Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional
Depdiknas(2005) memberikan tolok ukur minimal keberhasilan program keaksaraan fungsional sesuai dengan tujuannya yaitu untuk membantu warga belajar agar memiliki kemampuan baca-tulis-hitung dan mengembangkan kemampuan fungsional yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, meliputi : Pertama, kemampuan fungsional untuk keperluan individu seperti membaca dan menulis nama dan alamat, membaca rambu-rambu lalu lintas, membaca label/instruksi-instruksi/petunjuk, membaca surat-surat, menggunakan buku telepon, membaca rekening listrik-telepon, membaca peta dan pengumuman, membaca dan menulis daftar belanja, membaca kalender dan membaca teks televisi, membaca menu/resep makanan, menulis kuitansi, mengisi formulir, membaca/menulis surat-surat pribadi, membaca bagian tertentu surat kabar, membaca majalah yang diminati, membaca buku-buku keterampilan praktis, membaca informasi yang berhubungan dengan kesehatan, menggunakan kamus bahasa Indonesia sederhana dan meningkatkan kemampuan tulisan tangan.
Kedua, kemampuan fungsional untuk membantu anak-anaknya seperti membacakan suatu bahan bacaan sederhana kepada anak-anak/cucu, membantu pekerjaan rumah anak-anaknya terutama pada kelas-kelas awal, menuliskan surat untuk keperluan sekolah anak-anaknya, berpartisipasi di sekolah yang berhubungan dengan pertemuan/acara lainnya, membaca dan menulis catatan/surat dari dan untuk sekolah.
Ketiga, kemampuan fungsional untuk aktualisasi diri seperti membaca buku hiburan sedefrhana (jenis: petualangan, misteri, roman, sejarah, buku-buku tentang masyarakat), membaca buku-buku untuk mendapatkan informasi (kisah nyata, pekerjaan, anak-anak, kesehatan, agama, hobby, hiburan, dan lain-lain), dan menulis untuk keperluan diri sendiri (catatan harian, pengalaman diri, nasehat, pendapat, laporan, riwayat hidup, cerita, sajak, syair lagu, dan lain-lain)
Keempat, kemampuan fungsional berkaitan dengan pekerjaan warga belajar seperti memanfaatkan bahan bacaan untuk menemukan pekerjaan yang diminati, memanfaatkan bahan bacaan untuk meningkatkan pekerjaannya, atau untuk membuka usaha, membaca dan menulis catatan-catatan atau surat dari dan atau kerelasi kerja secara sederhana dan membaca atau menulis hal-hal tentang pekerjaannya.
Kelima, Kemampuan fungsional berkaitan dengan sosial kemasyarakatan seperti membuat permohonan KTP, membaca persetujuan/kontrak, permohonan kartu perpustakaan, ikut serta dalam pertemuan masyarakat/pertemuan agama, ikut serta dalam kelompok untuk memecahkan masalah, membuat pengumuman/undangan/selebaran, mengikuti pemilu.
Keenam, kemampuan fungsional berkaitan dengan pendidikan seperti menghadiri penyuluhan, menghadiri pertemuan guna mempelajari sesuatu yang baru (hobby, peningkatan diri), dan mengikuti pertemuan sehubungan dengan pekerjaan.
Ketujuh, kemampuan fungsional berkaitan dengan pengelolaan kelompok belajar seperti membuat rencana dan kesepakatan belajar, menulis catatan harian tentang kegiatan yang dilakukan, membuat pembukuan dan mengelola dana belajar, membaca bahan bacaan lain yang diperlukan, menulis laporan sederhana, membuat rencana dan melaksanakan kegiatan belajar bersama, mengikuti program KBU/Life skill, membaca buku-buku yang tersedia di TBM, menulis usulan sederhana untuk memperoleh dana, bahan atau sumber dari instansi, menulis berbagai formulir sederhana seperti membuka rekenin dibank, mengirim uang melalui kantor pos dan melaksanakan kegiatan-kegiatan usaha sederhana.
Kedelapan, kemampuan berhitung minimal yang harus dikuasai seperti menghitung pengeluaran sehari-hari, mengenal symbol tanda hitung (+, - , : , dan x), menghitung dengan simbol (+, -), mengenal dan mengunakan symbol (x, :), mengenal ukuran berat dan panjang.
Kesembilan, kemampuan berhitung fungsional berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti mengisi kuitansi, membuat daftar belanja, membuat daftar harga, menghitung keuntungan, membuat pembukuan sederhana, mengukur takaran minyak, beras dan sebagainya, mengukur panjang kayu, meja, lebar pintu dan sebagainya, menimbang barang dagangan, membuat pembukuan kegiatan kelompok, membuat pembukuan usahanya sendiri dan menghitung bunga bank.
5. Monitoring, Evaluasi, Pelaporan dan Tindak Lanjut
a. Monitoring
Monitoring merupakan upaya pengendalian dan pembinaan yang terus menerus sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut. Dalam prosesnya, aspek yang dimonitoring meliputi semua komponen program, substansi program dan dukungan terhadap keberhasilan program.Pelaksanaan monitoring mulai dari Direktorat Jenderal PLS, Dinas Pendidikan Propinsi, Dinas Pendidikan kabupaten/Kota dan kantor Cabang Dinas Pendidikan.
b. Evaluasi
1) Evaluasi Program
Evaluasi program adalah upaya penilaian dan pengukuran pelaksanaan program keaksaraan fungsional.Tujuan dilakukannya evaluasi program adalah untuk menilai dan mengukur efektifitas program dan ketercapaian tujuan setiap komponen program yang telah ditetapkan. Komponen-komponen yang dievaluasi meliputi: penyelenggaraan (manajemen) program dari pusat sampai dengan kelompok belajar. Kelompok belajar yang mencakup tutor,warga belajar, program belajar, proses pembelajaran, tempat dan waktu belajar, bahan dan media belajar, evaluasi pembelajaran dan lain-lain. Prestasi dan kemajuan warga belajar progran keaksaraan fungsional.
Untuk mempermudah pelaksanaan evaluasi pelaksanaan evaluasi dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, tingkat propinsi, tingkat kabupaten/kota dan tingkat kecamatan.
2) Evaluasi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran dalam pelaksanaan kelompok belajar keaksaraan fungsional meliputi 3 hal yaitu: evaluasi awal yang bertujuan untuk menilai kemampuan awal WB ditinjau dari pengalaman, pengetahuan, cita-cita, minat dan kebutuhan belajar, keterampilan dan informasi yang dimiliki WB. Evaluasi selama proses pembelajaran yang bertujuan untuk menilai kemampuan WB ditinjau dari kepercayaan diri, kemampuan mendiskusikan ide, kemampuan menjelaskan cita-cita, kemampuan membuat rencana, membantu WB lain, menulis, membaca dan berhitung. Sedangkan untuk kelompok belajar adalah untuk menilai kemampuan bekerjasama, kemajuan rencana/kesepakatan belajar yang telah dilaksanakan, keajegan dan keberlanjutan kelompok belajar, dan hambatan serta bagaimana mengatasi hambatan. Dan evaluasi akhir pembelajaran/setelah proses pembelajaran yang bertujuan untuk menilai hasil belajar WB yang ditinjau dari hasil tulisan yang dibuat warga belajar, rencana/kesepakatan belajar yang diselesaikan, kegiatan penerapan/aksi yang dilaksanakan, dan berapa WB yang telah selesai.
c. Pelaporan
Kegiatan pelaporan dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat kelompok belajar sampai dengan tingkat pusat dengan ketentuan: di tingkat kelompok belajar, tutor membuat laporan tiap 3 bulan sekali berisi tentang pelaksanaan pembelajaran dan kemajuan belajar setiap WB disampaikan kepada ketua penyelenggara program. Penyelenggara program membuat laporan tiap 3 bulan sekali berisi tentang pelaksanaan kelompok belajar kepada Subdin PLS kabupaten/Kota. Subdin PLS Kabupaten/Kota membuat laporan tiap 3 bulan sekali berisi tentang pelaksanaan kelompok belajar kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan dikirim kepada Kepala Dinas Pendidikan Propinsi dan Dirjen PLS.
Adapun materi yang dilaporkan meliputi hal-hal diantaranya pelaksanaan kelompok belajar keaksaraan fungsional secara umum, proses pembelajaran, kegiatan yang dilakukan dan perkembangan kemajuan warga belajar, hasil belajar warga belajar dan hambatan, masalah, dan upaya pemecahannya.
C. Tujuan Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK)
Pembaharuan dalam pelaksanaan pendidikan keaksaraan memang harus dilakukan, harus ada pemahaman bahwa pengelolaan pendidikan keaksaraan tidak hanya terfokus pada kemampuan membaca, menulis dan berhitung saja. Pendidikan keaksaraan harus memiliki nilai kebermaknaan bagi kehidupan masyarakat sasarannya.
Tujuan dilakukan inovasi terhadap pendidikan keaksaraan adalah sebagai berikut:
1. Pelanggengan kemampuan keaksaraan peserta didik
2. Pengintegrasian program keaksaraan dengan life skill dan TBM
3. Terpenuhinya standar mutu pendidikan keaksaraan fungsional
4. Agar program dapat bermakna pada kehidupan masyaraakat
5. Terjadinya kesimbangan kemampuan kognitif dan psikomotor
6. Pemberantasan buta aksara menjadi tangung jawab bersama
7. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat
8. Pemandirian masyarakat
D. Kerangka Inovasi Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) yang Diusulkan dengan Kondisi Pendidian keaksaraan Sekarang
E. Faktor-Faktor Agar Inovasi Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) ini Diadopsi dengan Cepat Dilihat dari Konsep Rogers dan contoh-contohnya
Ada lima atribut kecepatan sebuah inovasi diadopsi oleh adopter yakni; 1) relaitive advantage, 2) compatibility, 3) complexity, 4) triability, 5) observability. Hal inilah yang mempengaruhi cepat atau lambatnya sebuah inovasi diterima oleh masyarakat termasuk pada upaya inovasi tentang penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional berbasis kewirausahaan dan penguatan taman bacaan keluarga.
Pertama, relaitive adventage (keuntungan relatif) masyarakat yang menjadi objek pembaharuan akan melihat dulu keuntungan dibalik perubahan itu sendiri. Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) pada dasarnya memiliki keunggulan dalam hal keuntungan, karena rancangan program berorientasi pada kebutuhan masyarakat sasaran.
Kedua, compatibility (kesesuaian) adalah tingkat dimana sebuah inovasi dipersepsikan sebagai sesuatu yang konsisten dengan nilai-nilai masa lampau yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan pemakainya, suatu ide yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang umum pasti ditolak. Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) jelas memiliki tingkat kesesuaian kesesuaian karena mengacu kepada kebutuhan sasaran.
Ketiga, complexity (kerumitan, kesulitan) adalah suatu inovasi biasanya dilihat dari tingkat kerumitan atau kesulitannya untuk diterapkan. Sebuah inovasi yang rumit pengunaannya maka semakin rendah tingkat adapsinya, sedangkan semakin simpel maka semakin tinggi tingkat adopsinya. Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) tidak memiliki kerumitan sepanjang adanya pemanfaatan sumber daya yang ada dapat dikelola sesuai tujuan dasarnya.
Keempat, trialibility (mudah dicoba) adalah tingkat suatu inovasi dieksperimenkan, apabila mudah dieksperimenkan maka lebih berpotensi untuk menyebarluas ke masyarakat dengan cepat. Adopter tidak mudah menerima begitu saja jika sulit untuk dicoba dan diterapkan, mereka akan melihat dulu sisi-sisi yang menguntungkan. Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) mudah dicoba karena melekat dengan kehidupan sasaran.
Kelima, observability (dapat diamati) adalah suatu inovasi dapat diamati hasilnya dan mudah dilaksanakan. Observability berkolerasi positif terhadap percepatan adopsi. Inovasi yang nyata hasilnya akan mudah diterima, sebaliknya yang meragukan atau tidak tampak hasilnya akan lambat diterima adapter. Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) akan lebih kongkrit karena proses kemampuan membaca dan menulis dapat diaplikasikan langsung sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan kewirausahaan dan penguatan taman bacaan keluarga.
F. Proses Keputusan Inovasi Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK)
Menurut Roger , proses keputusan inovasi terdiri dari 5 tahap yaitu ( 1 ) Tahap Pengetahuan, ( 2 ) Tahap Bujukan, ( 3 ) Tahap Keputusan, ( 4 ) Tahap Implementasi dan ( 5 ) Tahap Konfirmasi.
1. Tahap Pengetahuan ( Knowledge )
Proses keputusan inovasi dimulai dengan tahap pengetahuan yaitu tahap pada saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan ingin tahu bagaimana fungsi inovasi tersebut.Pengertian menyadari dalam hal ini bukan memahami tetapi membuka diri untuk mengetahui inovasi.
Agar masyarakat mengetahui Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada setiap lapisan masyarakat.
2. Tahap Bujukan ( Persuation )
Pada tahap persuasi dari proses keputusan inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap inovasi. Jika pada tahap pengetahuan proses kegiatan mental yang utama bidang kognitif, maka pada tahap persuasi yang berperan utama bidang afektif atau perasaan. Seseorang tidak dapat menyenangi inovasi sebelum ia tahu lebih dulu tentang inovasi.
Untuk persuasi Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) dilakukan sosialisasi khusus kepada masyarakat sasaran dan keluarga atau lingkungan yang berpengaruh.
3. Tahap Keputusan ( Decision )
Tahap Keputusan dari proses inovasi, berlangsung jika seseorang melakukan kegiatan yang mengarah untuk menetapkan menerima dan menolak inovasi. Menerima inovasi berarti sepenuhnya akan menerapkan inovasi. Menolak inovasi berarti tidak akan menerapkan inovasi.
Proses keputusan untuk Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) diserahkan sepenuhnya kepada sasaran, tanpa ada pemaksaan.
4. Tahap Implementasi (Implementation)
Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Dalam tahap implementasi ini berlangsung keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputusan penerima gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktik. Pada umumnya implementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia.
Untuk implementasi Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) sepenuhnya diarahkan sesuai dengan kebutuhan sasaran. Dan kebebasan untuk memberikan penilaian terhadap program diberikan kepada sasaran.
5. Tahap Konfirmasi (Confirmation)
Dalam tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya, dan ia dapat menarik kembali keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula. Tahap konfirmasi ini sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadi keputusan menerima atau menolak inovasi yang berlangsung dalam waktu yang tak terbatas. Selama dalam konfirmasi seorang berusaha menghindari terjadinya disonansi paling tidak berusaha menguranginya.
Dalam konfirmasi Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) perlu dukungan positif dari berbagai pihak, sehingga kebutuhan terhadap program dan mengaplikasikannya dapat menjadi kebutuhan dan melekat pada kehidupan.
Kesimpulan:
Inovasi Pendidikan Keaksaraan yang Berbasis Kewirausahaan dan Penguatan Taman Bacaan Keluarga (TBK) kalau dilihat dari suatu persyaratan sebuah inovasi yang efektif dan efesian, berdasarkan analisis untuk kelayakan suatu program dapat dinyatakan mudah diterima.
( http://sofyenipadangpanjang.blogspot.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar